Ke-Sue-an dan Fake Smile
“Assalamu’alaikum, boleh nambah pesanan?” Tanya
seorang wanita lewat telpon.
“Wa’alaikum salam.. Boleh, apa aja?” Saya menjawab
dengan ramah dan merdu.
“Pesan …” Dia menyebutkan pesanan tambahannya.
“Udah itu aja?” Tanyaku.
“Iya” Jawabnya.
“Oke. Assalamu’alaikum” Sesaat setelah saya selesai
menuliskan pesanannya.
“Wa’alaikum salam” Jawabnya dengan penuh pengertian.
Heuheu.
Begitulah kira-kira percakapan ketiga yang terjadi antara
saya dan seorang wanita misterius siang itu. Dia sempat menelpon sebelumnya,
memesan lalu kemudian menambah pesanan.
“Kenapa gak dari tadi sih mba? Kasian kan teman saya
(panggil saja Zyad) udah pergi mengantar pesanan” Saya sedikit menggerutu, tapi
ya namanya juga kerja, jangan bawa-bawa perasaan. Seperti robot.
Baru sampai jalan raya, saya melihat Zyad dari jarak yang
tidak begitu jauh dengan kresek pesanan di tangan.
“Naha?” Saya bertanya ketika jarak kita sudah berdekatan.
“Eweh le, eta 2 gedung geus di ketrokan pantona hiji-hiji
eweh nu muka, nya engges we urang terus ka konsuler. Eeeh.. pek the tutup deuih
konsulerna ge. Sueeee..” Jawab Zyad dengan perasaan yang sepertinya sedang
kacau.
“Ah maenya? Eta gedung nu belah dituna” Saya menjawab,
sedikit kaget dan kasian karena 2 gedung dengan masing-masingnya memiliki
sekitar 5 tingkat.
“Huuh, malah si mesir nu kaluarna ge” Jawab Zyad.
“Nya enggeus atuh dieu ku urang we” Saya mengakhiri
percakapan sembari mengambil pesanan sebelumnya.
Akhirnya saya yang mengantar semua pesanan wanita itu. Sampai
di pertigaan jalan (Mutsallas), ketika saya hendak menyebrang, Allah kirimkan
tuk-tuk (bajai) di arah yang berlawanan sedang mundur dan akhirnya bujur
kita (tuk-tuk dan saya) bertabrakan. Sueee katabrak bujur tuk-tuk. -_-
Alhamdulillah saya berhasil menemukan rumahnya sekali
jalan dan tidak mesti mengetuk semua pintu yang ada (meskipun agak lama dibuka
pintunya) karena sebenarnya saya pernah ke tempat itu sebelumnya dan yang
membuka pintu pun ternyata orang yang saya kenal. Siip.. kirain siapa.
“Ini pesanannya, semuanya jadi …” Sambil menyodorkan
pesanannya.
Tanpa pikir panjang, setelah uang saya terima, saya langsung
bergegas mengatar pesanan berikutnya. Dan ternyata, setelah saya turun dari
dari gedung itu, saya mendapat ke-sue-an juga. Pesanan berikutnya tertukar
dengan pesanan tambahan si teman wanita saya itu. Sueee (lagi).
Mau tidak mau saya harus menukarnya. Lumayan lah bulak-balik
naik-turun sampe lantai 4. Setidaknya saya lebih beruntung dari pada Zyad. Alhamdulillah..
kudu bersyukur.
Setelah mengantar, saya kembali meneruskan kegiatan seperti
biasanya. Menerima pesanan, mengatarnya dan membersihkan bekas makannya.
Waktu sudah mulai mendekati jam tutup dan persediaan makanan
pun banyak yang habis, tapi masih ada beberapa pesanan yang tersisa. Kami antar
satu per satu. Tibalah giliran saya untuk mengantar ke meja yang diisi oleh
sepasang suami-istri. Dan terjadilah sandiwara ini.
“Senyum dong nganterin makanan nya!” Suara si istri yang
mengagetkan saya.
“Hehe…” Saya reflex karena malu.
Setiap pelayan memang harus ramah dan mudah senyum. Seperti contoh
iklan pelayan SPBU di Indonesia (bukan di Mesir) yang melebarkan senyumnya dari
sebelum kendaraan benar-benar tepat berhenti dihadapannya. Ini menjadi sebuah dilema
bagi saya.
Senyum memang baik dan berpahala, namun terkadang ada saja
orang yang salah mengartikan senyuman. Seperti kejadian teman saya ketika di
bis. Dia mendapatkan kursi untuk duduk, selang beberapa lama mulai lah
berdatangan orang menaiki bis, sampai hamper penuh. Di antara sekian orang yang
naik, ada akhwat yang katanya setanah air. Kebanyakan laki-laki, memang rela
jika tempat duduknya diberikan ke akhwat atau orang tua. Di samping ini sebuah
kebaikan, kasarnya laki-laki harus selalu mengalah kepada perempuan. Ketika ia
hendak memberikan tempat duduknya ke akhwat tersebut, munculah tatapan mata
yang seakan mengatakan “apa-apan sih modus banget”.
Kejadian di bis itu seakan sebuah penolakan kebaikan
terlepas dari apa niat teman saya itu. Karena kita hanya bisa menilai orang
lain dari dzahirnya saja (sebelum saling mengenal). Sedangkan kejadian
yang saya alami adalah sebuah permintaan kebaikan. Saya pun menyadari, saya
jarang senyum. Senyum ini hanya saya berikan kepada orang yang saya kenal, bapak-bapak
dan para lelaki lainnya yang datang.
Ini memang sebuah sunatullah, ada hitam ada putih. Di
saat kita hendak berbuat baik, ada saja orang yang menanggapi sebaliknya. Bukan
saya tidak mau tebar senyuman, saya hanya mencari aman saja. Saya nggak mau
dikatain modus oleh setiap akhwat yang saya hampiri ketika menyodorkan makanan.
Dan kalaupun saya senyum, bukan berarti saya modus. Saya hanya memberikan apa
yang semestinya seorang pelayan berikan kepada tamunya.
Untuk istri tadi, “Maaf ya mba, bukannya saya nggak mau
memberikan senyuman yang manis ini kepada mba, tapi saya takut suami mba juga
melemparkan sambal yang manis pula ke muka saya”.
Alhasil dari kejadian yang saya alami hari itu, mengutip
kata-kata Mang Imam bahwa life is problem. Hidup adalah masalah, jika
tidak ingin punya masalah, mati lebih recommended.
Semoga bermanfaat. Happy Blogging.
NB: Jika tidak mengerti, tanyakan pada ahlinya.
______________
*Sue artinya sial.
Ahiw
ReplyDeleteledom
Delete